There is no Easy Goodbye!




Yup!
Tidak ada perpisahan yang mudah.Thats why tulisan ini muncul sekarang, tepat setelah 196 hari setelah keputusan saya untuk pergi saya sampaikan.

Kenapa? Karena semua berubah. Tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri. 

Enam bulan persiapan dan 6 bulan pelaksanaan. 
Kerap kali bilang 'saya bodoh, ga ngerti apa-apa', karena memang begitu rasanya. 

Punya mentor yang sibuk luar biasa bolak-balik terbang keliling Indonesia. Komunikasi mengandalkan sinyal yang timbul tenggelam di hutan, entah di awan. Diskusi dari artikel-artikel yang membuat saya mengernyitkan dahi.

'Baca. Pelajari. Nanti diskusi'.
Cuma titip pesan begitu biasanya. Dan saya akan berteman akrab dengan gugel terjemah dan berpuluh artikel lainnya dalam beberapa hari hingga seminggu kedepan, hanya untuk memahami dan bisa berdiskusi tentang 1 artikel tadi.

'Apalah saya. Ga ngerti-ngerti maksudnya.' 
Wajar sekali jika kalimat seperti yang terus terucap. Saya hampir meyakini 7 tahun terakhir dedikasi saya mengajar, kepala saya ini dalam settingan auto pilot. Hanya mengulang-ulang yang saya ketahui, lagi dan lagi. Jadi terasa sekali bebalnya ketika dipaksa berdiskusi untuk sesuatu yang berbeda.

Pernah merasakan berada di kelas dengan guru yang hanya menyampaikan? Catatan penuh dan semua harus dihafalkan. Keluar kelas rasanya lelah. Tapi sepertinya tidak mendapat apa-apa.

Beda sekali rasanya berada di kelas dengan guru yang mendengarkan pendapat kita. Walaupun hanya menyimpulkan satu kalimat, tapi karena kalimat itu kita yang buat, keluar kelas rasanya seperti baru mendarat dari bulan. Ah, analoginya berlebihan ya. Biar.

Pelajaran lainnya adalah bagaimana menyampaikan yang saya ketahui ke banyak orang. Pesan yang harus dikirim harus sesederhana mungkin. Tidak boleh rumit. Bertahap. Dan pastikan bisa terkunyah dengan sempurna. Padahal lagi-lagi, saya itu tertatih-tatih belajarnya. Jadi stress berikutnya yang muncul adalah 'gimana kalo yang saya sampaikan salah?'.

Tekanan batin karena takut menyampaikan yang salah tapi dikejar deadline. Iya, ada deadlinenya. Ada target yang di list di awal minggu dan harus selesai di akhir minggu.

I was depressed. My head under water. 
But I'm feeling fine. 
Banyak perbaikan dilakukan. Perbaikan ritme kerja, referensi-referensi yang tidak biasa, bahan bacaan yang harus dicari walaupun sulitnya setengah mati. Mencari mentor-mentor yang saya yakini bisa mem-back up.  Melelahkan. Tapi saya suka. 

Hingga saya percaya semuanya bisa lebih baik. Dan saya bisa menularkan apa yang saya yakini. 

Tapi saya salah. Keyakinan saya hanya milik saya. Bukan milik semua. 

Salahkan saya yang percaya bahwa kita bisa menjadi lebih dari yang kita capai saat ini. Salahkan saya yang terlalu menjadikan masa lalu sebagai pembelajaran, sehingga mempercepat langkah-langkah perubahan adalah keharusan.

Salahkan saya yang terlalu percaya dengan apa yang saya yakini benar dan memandang anda tidak berlari dalam track yang sama.

A friend of mine said this, years ago: manusia mencari tempat di mana perasaannya dimengerti.


Comments

Popular posts from this blog

Insecure

Cara mengoles racun kodok di mata panah 😫

Waktu Bunda kecil emang dipanggilnya bukan bunda?