Barisan Air Manis



Duduk dalam lautan putih semua nampak serupa. Tapi tiap anggota tubuh, tiap helaan nafas, tiap langkah, bahkan debu yang beterbangan dalam 300 kilometer itu pasti bersaksi.

Kyai dan santri-santri Ciamis berhasil menorehkan ghiroh yang luar biasa dalam. Terlalu dalam hingga lisan menjadi kelu. Hanya isak tangis tertahan bahwa ketundukan mereka menampar rasa keimanan yang mungkin mulai lusuh. Sami'na wa atho'na. Saya dengar dan saya tunduk. Perintah ulama disikapi dengan satu kalimat. Tanpa tanya. Hanya iya.



Mereka yang terpilih untuk mengingatkan kita semua bahwa kekuatan hati jauuh tak tertandingi dari semua kekuatan yang bisa terpikirkan oleh akal manusia.

Menjelang 2 Desember bombardir isu semakin tajam. Harus saya akui, semangat menciut dan rasa ragu aksi ini akan terjadi semakin membesar. Sampai 27 November berita mulai berjalannya mereka bermunculan. Jalan kaki. Dari tempat yang jauh. Nun tinggi di sana. Dengan penampilan yang biasa saja. Tidak dengan persiapan bekal untuk melangkah 300 kilometer jauhnya.

Saya sempat berpikir mereka mungkin akan berhenti pada akhirnya. Mungkin di kilometer 75. Mereka akan percaya bahwa hatinya memberi sinyal yang salah bahwa 300 kilometer itu tidak sedekat yang hati mereka sangka.

Tapi saya salah. Dan tamparan yang kemudian muncul semakin membuat mata saya panas dan hati adem. Sepanjang jalan makanan, minuman, alas kaki, jas hujan, hingga pijatan di kaki-kaki itu tak pernah terputus.

Mereka terus berjalan. Ciamis - Jakarta bukan lagi di angan. Semakin banyak kota yang dilewati, barisan pun semakin panjang.
Dan semakin banyak langkah mereka, semakin banyak tua muda belia yang bebenah, menguatkan niatnya, meninggalkan urusan dunianya dan bergegas menyusul ke Jakarta.

Pun ketika banyak PO bus yang dibatalkan, truk terguling di pintu tol yang tidak juga disingkirkan, galian di jalan tol yang sungguh di luar kebiasaan, 3 dari 5 pintu tol yang ditutup karena penjaganya entah kemana, tugas wajib mahasiswa yang muncul tiba-tiba, hingga uang pembayaran bis yang sudah lunas dikembalikan begitu saja - barisan Ciamis sudah terlalu dalam menarik hati kita, membawanya ke Jakarta dan hanya menyisakan jasad dengan lubang besar di dada.

Barisan Ciamis, semoga Allah selalu merahmatimu. Atas izinNya kalian datang dari jauh menyadarkan kami. Sendal jepit tipis, bolong dan hampir hancur ini mungkin bukan milik kalian. Tapi penampakannya cukup menggambarkan jauhnya perjalanan. Sungguh kami iri. Sungguh kami cemburu. Sungguh kami berharap Allah juga memasukkan kami dalam barisanmu.

Duhai Robb ... sungguh kasih sayangMu atas bangsa ini begitu besarnya. Janganlah sekalipun Kau biarkan kami sendiri menghadapi masalah ini. Sungguh kami tak mampu, Tuhanku. Sungguh kami hanya debu tanpa rahmatMu.

Comments

Popular posts from this blog

Lonely 😔

Teruslah berkampanye!

Insecure