Bullying : Mudah disemai



"Aku bodoh ... aku bodoh..." , teriak Andi sambil memukul kepalanya berkali-kali.
Aku berhenti menulis di white board dan menghampirinya. Aku pegang kedua tangannya, genggam, dan Andi pun berhenti memukul kepalanya.

"Kenapa?" Tanyaku.
"Aku ini memang bodoh, mis," air matanya mengalir. Aku tahan kedua tangan yang kembali hendak memukul kepala.
"Repeat after me! Aku pintar", sambil kutatap matanya.
Perlahan gemetar yang kurasa dikedua tangannya mereda. Pelan dia ikuti kalimat itu.
Kuhapus air matanya. Kuminta seorang muridku yang lain mengambil botol minum dan membukanya.
"Minum ya?" Dijawab anggukan pelan.
Lalu tumpahlah ceritanya.

Buatku Andi tidak berbeda. Sama seperti 19 orang murid lain dalam kelas ini. Kadang dia lebih aktif dari teman-temannya yang lain, kadang juga malah lebih tenang.
Jika aku menjelaskan di kelas, Andi akan sibuk berkeliling kelas. Sesekali ikut berdiri di sampingku. Ikut bicara kepada teman-temannya. Kadang ikut menjelaskan, kadang juga malah bercanda dan membuat kelas gaduh karena teman-temannya gregetan.

Jika sudah begitu , aku colek bahunya, lalu kubilang, "jadi paatung".
Dan dengan senyum senangnya, dia akan 'jadi patung', bergerak sesedikit mungkin, tapi bibir lucunya akan terus tersenyum. Sampai kapan? Sampai penjelasan selesai. Hehe...

Untuk beberapa anak, tindakan-tindakan Andi ini lucu dan meramaikan suasana. Mereka tidak merasa terganggu. Tapi untuk beberapa yang lain, tindakan Andi yang misalnya ikut bicara di depan kelas ketika aku menjelaskan tadi, itu sangat mengganggu.
Dan apa yang mereka lakukan?
Mereka sebut julukan-julukan yang Andi paham terdengar tidak baik. Mereka menunjukkan muka tidak suka ketika Andi mendekati mejanya. Tidak bicara memang, tapi matanya menunjukkan rasa tidak suka yang sedemikian besar.

Dan Andi merasakan itu. Perselisihan Andi biasanya hanya dengan beberapa anak yang sama. Dengan anak-anak ini, Andi akan bersuara lebih keras dan menunjukkan dirinya merasa tidak nyaman. Dan begitu pulalah mereka.

Pagi hari setelah berdoa, aku pakai 10 hingga 15 menit untuk membacakan buku, mendengarkan cerita anak, juga membahas masalah julukan-julukan yang tidak seharusnya dilakukan. Membiasakan memuji mereka di depan teman-temannya. Membiarkan mereka melihat gurunya juga melakukan kesalahan.

Sekilas semua itu berhasil. Mereka mulai melihat teman disampingnya dengan pandangan baru. Misalnya, tulisan tangan Anis tidak terlalu rapi, tapi Anis pandai menjelaskan apa yang dia pelajari dengan kata-katanya sendiri. Andi mungkin suka berteriak dalam kelas, tapi dia bisa menggambar masjid dengan detail yang luar biasa. Anto sering sekali tidak membawa peralatan dan buku pelajaran dengan lengkap, tapi Anto paham betul pelajaran apa yang dia suka.

Sampai akhirnya, aku sadar. Semua ini bukan pekerjaan satu bagian saja. Ketika semua murid kuingatkan untuk melihat kelebihan yang dimiliki temannya, beberapa dari mereka tidak mendapatkan itu di rumah. Apa yang kutanam, tercerabut ketika pulang.

Bagaimana aku mengetahui ini? Anak itu murni. Mereka bercerita tanpa diminta. Bagainana ibunya minta dia menjauhi Andi. Melarang Andi memegang peralatan sekolah miliknya.  Melarang mereka bermain bersama Andi.

Aku belajar. Bullying mungkin bisa diredam hingga dihilangkan. Tapi bullying jauh lebih mudah jika disemai. Berulang-ulang. Hingga mereka pikir yang mereka lakukan adalah benar.

Comments

Popular posts from this blog

Insecure

Cara mengoles racun kodok di mata panah 😫

#maslepasseragam